Sabtu, 27 Disember 2008

Lilin (versi Indonesia )

Satu malam di apartemenku ketika lampu padam, sesuatu dalam pikiranku hampir berubah karena benda ini.

Aku meraba-raba untuk mencari lilin atau sesuatu untuk menerangi ruangan. Lalu aku menemukan lilin aroma terapi berwarna putih di dalam laci. Ku nyalakan dan aroma lavender segera saja menyebar.

Ku sandarkan punggungku di atas kasur, ku lirik meja dimana aku meletakan lilin itu. Sebuah foto akan aku dan dia terpajang disana. Dia memeluk dari belakang dengan dagunya di pundakku.

Aku tahu foto itu hanya masa lalu ku sejak kulihat dia mencium Reita di studio yang kosong. Cemburu dan sakit adalah apa yang kurasakan saat itu. aku mencoba untuk kuat, aku berpura-pura seperti tidak terjadi apa-apa, aku biarkan Ia menyentuhku dengan tangan yang sama yang Ia pergunakan untuk menyentuhnya. Ku lakukan yang terbaik untuk membuatnya tetap di sisiku. Sekarang aku tahu dia tak perduli pada ku seperti aku perduli padanya. Dan aku ingin Ia kembali bagaimana pun caranya. Aku bukan tipe yang mudah menyerah dengan mudah. Pasti ada jalan untuk mendapatkannya kembali, untuk membuatnya tinggal lebih lama di sisiku. Pasti…

Lilin… oh kamu lilin…
Rela hancur demi penerangan. Well, aku tidak rela kehilangan Aoi untuk Reita, walaupun itu untuk kebahagiaan Aoi. Aoi milikku. Aku bukan lilin. Aku manusia yang memiliki perasaan dan hati. Aku ingin mencintai dan dicintai. Dan lilin hanyalah lilin.

Aku benci kamu, lilin. Aku benar-benar membenci mu untuk membuatku merasa seperti seorang yang egois.

Ku lempar lilin itu ke dinding sebelum ia merubah pikiranku. Ruangan yang redup menjadi gelap sama sekali dan hanya cahaya bulan yang menerangi.

Keheningan memenuhi ruangan yang gelap hingga aku mendengar dering telpon. Aku bertanya-tanya siapa yang menelpon ku selarut ini, ini sudah hampir jam 11.

“halo?”

“Uru, ini aku”

Ah suara itu… baru saja aku memikirkan mu beberapa detik yang lalu dan sekarang kamu menelpon ku, sungguh kebetulan ya? Apa ini yang namanya firasat? Kalau memang iya, aku punya firasat buruk.

“ya, Aoi?” aku tahu apa yang akan Ia katakan malam ini, karena aku sadar, aku tidak siap akan kepergiannya untuk teman masa kecil ku, untuk teman baik ku, untuk teman satu band ku, untuk bassist band ku; Reita. Oh betapa bencinya aku akan nama itu sekarang…

“aku perlu bicara dengan mu” ku dengar Ia menarik nafas panjang disana “apa kita bisa bicara di cafĂ© Mink Wink di dekat apartemenmu?”

Apa malam ini saatnya kamu mengucap selamat tinggal? meninggalkan ku sendiri dan terluka?
Aku belum siap untuk kehilangan mu…
Aku perlu waktu untuk menjadi lilin, Aoi…

“…maaf, aku tidak bisa”

Tiada ulasan:

Catat Ulasan